Suatu Siang di RS Marzuki Mahdi

Siang itu matahari tampak bersembunyi di balik awan gelap yang turut serta membawa tetes-tetes hujan jatuh ke muka bumi. Sekejap, air tampak menggenangi jalanan di pekarangan sebuah rumah sakit di kawasan Bogor. Papan nama besar bertuliskan “RUMAH SAKIT DR. H. MARZUKI MAHDI” menyambut pengunjung. Dari luar nampaknya rumah sakit itu tidak terlalu besar.



Sebuah jalan beraspal lurus dari depan gerbang pintu masuk terhampar luas. Jalanan tersebut kiranya muat dua mobil untuk jalan. Di sekelilingnya berjajar bangsal-bangsal yang oleh pihak rumah sakit disebut juga sebagai ruang penanganan. Ada yang menarik dari bangsal-bangsal itu. Dari luar, nampaknya bangsal tertutup rapat oleh jeruji pagar besi.


Keheranan pun terjawab. Bangsal berjeruji besi itu ternyata merupakan ruang penanganan psikoterapi, yang tentunya bukan ruang penanganan biasa yang bisa kita temukan dalam semua rumah sakit. Ternyata rumah sakit ini menyediakan pelayanan khusus bagi orang yang mengalami gangguan psikis atau kejiwaan. Bangsal ini dari luar nampak sepi. Tidak ada mobil atau motor yang terparkir di depan.


Di depan pintu masuk terlihat sebuah papan tulisan tergantung bertuliskan “JAM BEZOEK PAGI: 10.00-12.00 SORE 15.00-17.00”. Ejaan yang digunakan pada papan tersebut merupakan Ejaan van Ophuijsen yang digunakan di Indonesia pada 1901 pada masa pemerintahan Kolonial. Jelaslah, rumah sakit ini pasti merupakan rumah sakit yang sudah tua dan peninggalan Belanda.



Sebuah lorong panjang kecil beratapkan genting berwarna abu-abu terhampar luas di depan pintu masuk bangsal. Lorong itu lebarnya kurang lebih hanya selebar tiga ubin besar. Meskipun rumah sakit ini sudah dibangun sejak lama, bangunannya masih tertata rapi. Di sepanjang kanan kiri lorong terdapat halaman luas disertai pepohonan yang rimbun.


Belokan pertama dari lorong itu, merupakan bangsal pertama bernama bangsal Dwi Amba. Jika ingin mengunjungi pasien yang terdapat di bangsal tersebut, haruslah menuju ke ruang kecil, seperti ruang kantor yang berisikan suster pengawas bangsal tersebut. Ruangan itu berisikan empat meja kerja beserta kursinya, beberapa lemari yang berisikan arsip-arsip pribadi pasien, papan bertuliskan data pasien dan tentunya ada suster yang berjaga di meja untuk menerima pengunjung yang datang.


Keterangan yang ada di papan tersebut menunjukkan pasien paling banyak bukan dari Bogor, tetapi dari Jakarta dan Depok. Dari Bogor hanya ada satu orang pasien lelaki. Namanya Agus Riaz. Pasien perempuan berjumlah lebih sedikit dari pasien lelaki. Pasien lelaki dan pasien perempuan ditempatkan pada bangsal yang berbeda. Ruangan pasien ditempatkan di belakang kanan kantor. Karena khusus untuk orang yang mengalami gangguan kejiwaan, ruang tidur sengaja ditutup rapat-rapat. Jendela yang ada di samping kanan dan kiri pun berteralis besi, sehingga pasien tidak dapat kabur. Ranjang besi berjejer rapi berderet di kanan dan kiri. Beberapa pasien terlihat sedang berbaring.


Saat melihat pasien-pasien tersebut, ada perasaan dilematis yang bergejolak. Di satu sisi, ada perasaan iba melihat kondisi mereka, di sisi lain ada perasaan takut apabila sewaktu-waktu mereka dapat berbuat di luar akal sehat. Pasien bernama Agus Riaz, satu-satunya pasien yang berasal dari Bogor, berdiri menyambut dengan senyuman, lalu ia keluar dari ruangan itu karena ada sanak keluarganya datang untuk melihat kondisinya.


Agus, begitu ia dipanggil, merasa sangat senang dengan kedatangan kakak dan keponakan perempuannya. Kakaknya datang membawa sebuah bingkisan makanan. Dengan merengek, Agus meminta untuk membukakan sale pisang yang masih dibungkus erat dengan plastik. Agus berperawakan sedang. Tubuhnya tidak terlalu gemuk dan tidak kurus. Rambut lurusnya masih terlihat lebat. Suaranya seperti orang merengek, kadang tidak jelas apa yang ia bicarakan.


Saat Agus berbicara, seringkali ia melontarkan kata-kata yang tidak pantas seperti “gigolo”, “kondom”, atau “pelacur” sambil tertawa-tawa. Sebelumnya, perawat juga sempat memberitahu sanak keluarga Agus mengenai hal tersebut. Saat kata-kata itu terucap keponakannya, yang berusia sekitar 20 tahun, memandang Agus tak henti-henti. Matanya menyiratkan keterkejutan dan keprihatinan. Mungkin ini kali pertama ia mengunjungi omnya dalam keadaan jiwa yang tidak sehat. Sesekali ia tampak melihat keluar, membuang muka, dan terlihat butiran air mata jatuh di pelupuk matanya. Ia menangis. Tapi tak ingin menunjukkan di depan muka Agus.



Hujan diluar sudah berhenti. Namun, tak mampu juga membuat keponakan Agus bisa berhenti menangis ketika memandanginya. Mereka akhirnya pulang dengan perasaan gontai. Sementara Agus kembali berbaring bersama pasien lainnya di ranjang besi.

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.